Kamis, 13 Oktober 2011

ETIKA BISNIS DALAM PRAKTEK PERPAJAKAN

Perpajakan di negara kita akhir-akhir ini menjadi sorotan dan perbincangan karena terdapat kasus yang berkaitan dengan pajak. Ditjen Pajak sebagai organisasi yang dinamis dan yang mempunyai tugas pokok serta fungsi mengamankan penerimaan negara dalam APBN, telah mendayagunakan sumber kekuatan dalam mengelola pajak. Walaupun tidak mudah, telah dilakukan berbagai perubahan ke arah pembaharuan dan modernisasi di tengah tuntutan perubahan, serta harmonisasi dengan berbagai kebijakan di berbagai sektor dalam mendukung pembangunan nasional.

1.      Tanggung Jawab Akuntan Pajak
Tanggung jawab utama praktisi pajak adalah sistem pajak. Suatu sistem pajak yang baik dan kuat tidak hanya terdiri dari entitas administrasi pajak saja. Hal tersebut juga harus terdiri dari kongres, administrasi dan komunitas praktisi. Bukan sebagai bagian yang terpisah dari masyarakat yang luas, tetapi lebih bekerja sama ke arah tujuan umum. Ketika secara umum menyetujui bahwa praktisi pajak mempunyai kewajiban atas kemampuan, loyalitas dan kerahasiaan klien, hal ini disebut juga tanggung jawab praktisi atas sistem pajak yang baik.
Tanggung jawab terakhir adalah pentingnya pervasive (peresapan). Dalam hubungan antara praktisi dan klien yang normal, kedua tanggung jawab dikenali dan dilaksanakan. Namun, situasi ini sulit. Dalam beberapa situasi praktisi diperlukan untuk memutuskan kewajiban yang berlaku dan dalam pelaksanaannya dapat disimpulkan bahwa kewajiban atas sistem pajak yang tertinggi. Praktisi pajak membantu dalam mengatur hukum pajak dengan jujur dan adil dalam pelayanan dan pengembangan kepercayaan klien dalam integritas dan kepatuhan terhadap sistem pajak.
Praktisi lebih baik melayani publik dengan mengadopsi suatu sikap. Aturan etika yang fundamental dalam praktik perpajakan pada tingkat etika personal adalah praktisi pajak harus mengijinkan klien untuk membuat keputusan final. Disamping itu praktisi harus bertanggung jawab tidak menyediakan informasi yang salah untuk pemerintah.
2 Etika Akuntan Pajak
Dalam kaitannya dengan etika akuntan pajak, AICPA mengeluarkan Statemet on Responsibilities in Tax Practice (SRTP). Adapun isinya adalah sebagai berikut:
  • SRTP (Revisi 1988) No.1: Posisi Pengembalian Pajak
  • SRTP (Revisi 1988) No.2: Jawaban Pertanyaan atas Pengembalian
  • SRTP (Revisi 1988) No.3: Aspek prosedur tertentu dalam menyiapkan Pengembalian
  • SRTP (Revisi 1988) No.4: Penggunaan Estimasi
  • SRTP (Revisi 1988) No.5: Keberangkatan dari suatu posisi yang sebelumnya disampaikan di dalam suatu kelanjutan administrative atau keputusan pengadilan
  • SRTP (Revisi 1988) No.6: Pengetahuan Kesalahan: Persiapan Kembalian
  • SRTP (Revisi 1988) No.7: Pengetahuan Kesalahan: Cara kerja administrasi
  • SRTP (Revisi 1988) No.8: Format dan isi nasihat pada klien


3. Aturan Perpajakan dan Tuntutan Klien
Pajak secara klasik memiliki dua fungsi. Pertama, fungsi bugeter. Kedua, fungsi reguleren. Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 23  ayat 2, disebutkan bahwa “segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang.” Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki fungsi yang luas antara lain sebagai sumber pendapatan negara yang utama, pengatur kegiatan ekonomi, pemerataan pendapatan masyarakat, dan sebagai sarana stabilisasi ekonomi. Kalau kita lihat APBN, pajak selalu dituntut untuk bertambah dan bertambah.
 Pemerintah harus memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke kas negara.  Dalam struktur anggaran negara, seperti halnya negara kita bisa mencapai 75% diperoleh dari pajak. Kondisi inilah yang memicu pemerintah untuk membuat aturan-aturan perpajakan. Aturan perpajakan merupakan masalah yang sebaiknya menjadi prioritas bagi pemerintah supaya tidak terjadi tax avoidance. Berikut ini beberapa kasus yang mencerminkan kompleksitas aturan perpajakan vs tuntutan klien :
  • Pajak Ganda pada Dividen
Secara teori Indonesiamenganut klasikal sistem. Artinya, ada pembedaan subyek pajak. Yaitu subyek pajak badan dan subjek pajak perseorangan. Yang bermasalah dalam pajak dividen adalah terjadi economic double taxation. Pengertiannya, sebelum dividen dibagi kepada pengusaha, laba tersebut merupakan laba perusahaan yang dikenakan pajak, atau disebut pajak korporat. Namun, ketika dibagi lagi kepada pemegang saham di korporat, pemegang saham itu harus dikenakan pajak lagi. Inilah yang disebut sebagai pajak ganda. Sebagai perbandingan,Malaysia dan Singapura tidak lagi menggunakan pajak atas dividen. Mereka menggunakan kredit sistem. Yakni, pajak yang bisa dikreditkan kepada para pemegang saham di korporat. Sehingga, korporat hanya dimaknai sebagai sarana. Subyek pajak tetap melekat pada pribadi. Tak ada lagi pajak ganda yang membebani.
  • Sengketa Pajak
Kalau terjadi dispute, yakni hitungan wajib pajak (WP) dengan petugas pajak berbeda. Pada UU KUP 2000 kewenangan aparat fiscus terlalu luas. Jika terjadi sengketa SPT, maka apapun yang akan dipakai adalah hitungan aparat pajak, dan hitungan itu harus dibayar lebih dahulu oleh WP sebesar 50 persen dari hitungan petugas pajak sebelum bisa dibawa kepada pengadilan pajak. Kalau hitungan WP yang dinyatakan pengadilan benar maka WP berhak menerima restitusi. Namun, uang restitusi itu kenyataannya tidak segera dibayarkan oleh fiscus.
Jika uang restitusi jumlahnya milyaran jelas saja mengganggu cash flow para pengusaha. Inilah persoalan dalam dispute antara WP dengan aparat pajak. Untungnya, dalam UU KUP 28/2007 perhitungan SPT ditentukan secara bersama-sama. Jika ada perbedaan klaim angka, maka yang lebih dahulu dipakai adalah klaim WP. Sebelum masuk ke pengadilan pajak, WP hanya cukup membayar sebesar 50 persen dari klaim hitungan WP sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar